Seperti biasanya, setiap pergantian tahun pelajaran, kelas kami pasti diacak. Yang dulunya di kelas B bisa berpindah ke kelas C. Sekarang kali ke dua aku merasakannya. Sebelumnya aku di kelas 2 ipa D sekarang menjadi siswa kelas 3 ipa C. Aku tidak keberatan dengan keadaan ini. Lagi pula, sejak kelas 1 aku masih terus satu kelas dengan sahabatku Mida. Entah kebetulan atau guru-guru memang sengaja. Eh, kupikir ini tidak mungkin disengaja, hehe. Tapi begitulah kenyataannya. Setelah naik ke kelas 3, kami kembali ditempatkan di kelas yang sama. Aku benar-benar beruntung bersahabat dengan Mida. Dia baik dan pintar. Dia tanpa keberatan mengajariku pembahasan yang tidak kupahami. Bukannya bodoh, tapi aku kadang mengalami kesulitan khususnya di mata pelajaran biologi. Bagiku biologi benar-benar rumit. Aku membutuhkan berjam-jam untuk bisa memahai sedikit dari pembahasan di biologi, apalagi banyak. Aku pernah meminta guru privat sama mama, tapi tidak pernah ditanggapi serius sama mama. Entahlah, katanya kamu hanya perlu untuk serius belajar, kalau serius pasti mudah memahaminya. Haloo maa? Aku kurang serius apa coba? Untuk saat ini aku hanya mendapat tambahan belajar dari Mida. Sekali lagi, aku beruntung bersahabat dengan Mida. Dia bersedia memberikan tambahan pelajaran –meskipn tidak seefektif privat dari provisional- kepadaku.
Di kelas 3 ipa C ini aku juga satu kelas sama Dira. Tidak berbeda dengan Mida, Dira juga pintar. Tapi belum tahu bagaimana sifatnya, karena selama dua tahun di SMA, saya baru kali ini satu kelas sama dia. Dia cukup terkenal di sekolah, karena sebagai laki-laki dia punya otak yang encer tidak seperti anak laki-laki pada umumnya di SMA. Dia tidak pernah keluar dari peringkat umum. Jujur, ada rasa kagum untuk Dira yang aku simpan di hatiku. Yang membuat aku senang adalah, ternyata Mida akrab dengan Dira sehingga aku juga bisa belajar bersama sama Dira. Tidak heran mengapa mereka bisa akrab. Mereka sering mengikuti lomba dan olimpiade bersama-sama. Dua orang pintar sekaligus, semoga saja aku juga bisa tambah pintar –hehe.
Karena kami sudah kelas 3, maka kami mulai membentuk kelompok belajar. Dan kembali aku bersyukur karena aku bisa satu kelompok dengan Mida, Dira, dan Arif. Arif anak yang tampan, itu kesan pertamaku saat pertama kali melihatnya. Anaknya juga disukai oleh guru-guru, dan dia mantan pengurus osis di SMA ini. Setiap hari kami menyisihkan waktu untuk belajar bersama saat pulang sekolah. Meskipun kemampuanku tak sebanding dengan mereka, tapi mereka sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Mereka senang bisa mengajar aku. Katanya, semakin ilmu diberi, semakin ilmu itu tertanam di otak. Aku suka cara pandang mereka.
Setelah beberapa hari kami belajar bersama, aku melihat kedekatan antara Mida dan Dira tidak seperti selayaknya teman biasa. Mereka lebih mirip orang yang sedang saling jatuh cinta. Aku tidak mempermaslahkan hal itu sama sekali, aku bahkan senang jika mereka bisa bersama. Itu artinya mereka akan menghaslkan keturunan yang lebih baik. Apalagi setelah aku tahu sifat Dira juga baik. Tapi, aku juga tidak bisa menutupi rasa penasaranku, akhirnya suatu hari aku bertanya kepada Mida,
“Da, kamu suka ya sama Dira?” tanyaku.
“Haa? Suka sama Dira? Hahhah. Gak lah. Kenapa sih?”
“Aah, nggak kok. Cuma pengen tau aja. Soalnya belakangan ini kalian deket banget.” jawabku jujur. Aku memang tidak bisa bohong sama Mida. Dia baik sekali padaku.
“Oo, biasa aja kali. Eh, gimana soal guru privat? Mama kamu udah mau cariin?” tanya Mida. Sebelumnya aku sudah menceritakan tentang les privat ke Mida.
“Belum Da, tau tuh mama gak ngerespon kalo aku ungkit les privat.” jawabku cemberut.
“Yaudah, aku cariin solusi deh. Siapa tau ada cara lain kan?” kata Mida akhirnya. Aku senang sekali Mida mau membantu. Selama ini aku selalu merepotkannya. Suatu saat nanti aku juga harus membantu Mida apapun itu.
***
Keesokan harinya entah kenapa Dira mengajakku ketemuan di café. Aku sama sekali tidak bisa menerka apa yang akan disampaikan Dira kepadaku. Saat kami tiba di café dan telah memesan makanan, Dira langsung mengungkapkan maksudnya. Dira mengatakan tanpa ekspresi gugup sedikit pun, bahwa dia beberapa hari belakangan ini mulai menyukai Mida. Aku tidak terkejut. Kemudian Dira melanjutkan bahwa dia ingin aku membantunya untuk bisa dekat dengan Mida dan sebagai gantinya dia akan menjadi guru privatku. Aku heran, kenapa Dira membutuhkan bantuanku untuk dekat dengan Mida sedangkan selama ini dia lebih dekat dengan Mida dari pada aku. Tapi, tawarannya untuk menjadi guru privatku juga tidak bisa ku tolak, apalagi dia tidak meminta bayaran. Baiklah, apa salahnya ku coba, toh hanya mendekatkan Dira dan Mida kan? Kurasa ini tidak akan sulit, apalagi sebelumnya mereka sudah terlihat dekat.
“Baiklah, aku setuju” kataku pada akhirnya.
“Okey. Mulai besok aku ngasi kamu les mulai jam 7 sampai jam setengah sembilan malam. Bagaimana?”
“Ee, okee !!”
“Baiklah. Dan jangan lupakan janjimu ya?” katanya mengingatkanku. Kemudian aku mengangguk mantap tanda kusetujuinya perjanjian ini.
Hari ini adalah hari pertama aku akan menjalankan rencana yang semalam sudah kususun sesistematis mungkin. Jadi, saat kami berempat akan belajar bersama, aku akan mengajak Arif untuk pergi ke perpustakaan mencari buku, jadi Mida dan Dira bisa berduaan. Haah, aku benar-benar berharap ini bisa membantu. Aku sama sekali belum pernah melakukan hal yang berarti untuk Mida. Setelah kupikir, ini adalah kerjasama yang menyenangkan. Seperti, simbiosis mutualisme tapi dalam konteks yang berbeda. Jika selama ini jasa ditukar dengan uang, kali ini tidak sama sekali. Jasa ditukar dengan jasa. Hebat.
***
Akhirnya tiba saatnya kami belajar bersama. Aku akan melaksanakannya sekarang.
“Mmm, Da, aku mau ke perpus bentar nih. Ada buku yang harus aku pinjam” kataku pada awalnya. “O iya, Arif bisa temenin aku ya?” aku benar-benar mempersiapkan ini dengan matang. Masalahnya, aku tidak begitu dekat dengan Arif dan sekarang aku harus minta Arif untuk menemani aku ke Perpustakaan supaya Mida dan Dira bisa berdua.
Kulirik Dira, dia tidak bereaksi apa-apa. Tidak senang, tidak juga kecewa kalau-kalau sikapku tadi terlalu berlebihan dan terlihat sengaja meninggalkan Dira dan Mida berdua. Aku kemudian melihat Arif mulai beranjak dari kursi yang didudukinya setelah sebelumnya menatap Dira dan Mida bergantian.
“Loh, mo pinjem buku apaan sih Mia?” tanya Mida padaku.
“Eeh, ini, aku mo pinjem buku biologi” jawabku asal. Sebelumnya aku sama sekali tidak memperkirakan kalau Mida akan menanyakan buku apa yang mau aku pinjam.
“Biologi? Loh, kenapa gak minta ditemenin Dira aja? Dira kan yang paling ahli biologi diantara kita berempat?” ungkap Mida.
Waduh ?!! Rencananya mau memberi kesempatan Mida dan Dira berdua, kok malah jadi begini? Aku harus bilang apa? Kulihat Arif sudah kembali menduduki kursinya. Aduh, bagaimana ini?
“Eeeh, gak jadi deh. Lain kali aja” kataku segera. Lebih baik berempat deh, dari pada meninggalkan Arif dan Mida berdua. Bisa-bisa Dira membatalkan perjanjian kami yang artinya aku kehilangan kesempatan dapat les privat.
“Loh, kamu gimana sih Mia? Katanya mau minjem buku, kok gak jadi? Aku yakin kamu pasti butuh banget sama buku itu. Udah deh, kamu pergi ditemenin Dira aja. Sekalian kan, nanti Dira bisa milihin kamu buku yang bagus. Mau kan Dira?” kata Mida panjang lebar.
Aduh, tambah parah deh nih. Mida kenapa sih, pake minta Dira untuk menemani aku? Sepertinya rencanaku akan gagal deh. Apa Dira akan benar-benar membatalkan perjanjian kami? Kulihat Dira mulai beranjak dari kursi yang sedari tadi diduduknya. Apa yang dia lakukan? Dia tidak berniat mau menemani ku kan?
“Ya sudah. Mia, ayo aku temani. Kebetulan, bahan bacaanku juga sepertinya kurang” kata Dira akhirnya. Loh? Ada apa ini? Kok malah Mida dan Arif yang ditinggal? Atau jangan-jangan Dira mau menemaniku karena dia berencana memarahiku di jalan nanti, lalu Dira akan memutuskan perjanjian kami? Ya tuhan, bagaimana ini?
“Ayo!” seru Dira melihat reaksiku yang hanya melamun. Haah, kurasa aku sudah pasrah. Mungkin memang bukan takdirku untuk bisa les privat.
Akhirnya aku mengekor Dira ke perpustaan yang buka hingga jam 4 sore. Di perjalanan Dira sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ah, mungkin dia akan membicarakannya di perpustakaan. Tapi, sesampainya di perpustakaan Dira malah memilih buku biologi dan sesekali mengatakan “Ini bagus Mi!” aku benar-benar tidak mengerti.
“Dir, kamu nggak marah? Trus kok kamu mau sih nemenin aku ke sini? Padahal kan tadi aku mau ninggalin kamu sama Mida berdua” kataku tanpa basa basi. Sekilas kulihat Dira tersenyum, tapi hanya sekilas. Atau mungkin hanya hayalanku saja. Mana mungkin Dira akan tersenyum, kalau marah sih bisa.
“Loh, ngapain marah? Gak papa lagi. Ini kan baru awal. Lagipula Mida yang minta. Kamu santai aja. Trus aku nemenin kamu, seperti yang aku bilang tadi aku kekurangan bahan bacaan jadi mau sekalian pinjam” jawab Dira tersenyum. Ya, tersenyum. Hal yang kuanggap tidak mungkin sedang terjadi, sekarang. Aku benar-benar bingung dengan Dira, seharusnya kan dia marah atau paling tidak dia kecewa karena rencana pertama gagal. Tapi tidak ada raut kecewa di wajah Dira sama sekali.
“Mm, tapi, kamu tetap ngasi aku privat kan?” tanyaku pelan. Jangan sampai aku kehilangan kesempatan mendapatkan les privat.
“Hahhahahhah !!! Mia, kamu lucu banget deh! Ya iyalah, kan udah kesepakatan kita. Hahah” Dira tidak bisa menahan tertawanya. Apa yang lucu? “Oiya, privatnya mulai nanti. Jadi kamu jangan kemana-mana ya?” kata Dira mengingatkan. Aku tidak akan lupa untuk hal sepenting ini. Ini bahkan lebih penting dari baju-baju unik yang menjadi incaran shopaholic yang juga menarik perhatianku.
***
Tidak kusangka perjanjian ini menjadi awal kedekatanku dengan Dira. Entahlah, seharusnya Dira semakin dekat dengan Mida, bukan aku. Tiga kali seminggu Dira datang ke rumahku untuk memberikan les privat. Pertemuan kami tentu saja tidak sepenuhnya belajar. Kami sering pula bercerita mengenai kesenangan masing-masing. Aku baru menyadari berteman dengan Dira benar-benar menyenangkan. Dan Mida beruntung bisa mendapatkan hati Dira.
Kewajibanku? Aku tidak pernah berhenti untuk mendekatkan Dira dan Mida, tapi ada saja yang menghalangi rencanaku. Tujuh kali aku mencoba mendekatkan mereka, hanya dua kali yang berhasil. Ini benar-benar tak semudah yang kubayangkan. Dan yang membuatku heran, Dira sama sekali tidak marah atau kecewa karena kegagalan rencanaku. Ia malah selalu tersenyum dan berkata “Ya sudah, lain kali saja”. Ini sangat berbeda saat Dira pertama kali meminta bantuanku. Saat itu kurasakan kesungguhan Dira. Tapi setelah itu, Dira seakan tidak memedulikan apakah dia bisa dekat dengan Mida atau tidak.
Beberapa kali Dira ke rumahku saat malam minggu. Awalnya aku heran, kaget malah. Tapi dira menjelaskan kalau ini seperti lembur. Dira membantuku belajar di malam minggu dan aku harus mencoba meningkatkan intensitas kedekatan Dira dan Mida. Kali ini aku kembali melihat kesungguhan dan antusias dari Dira. “Baiklah”. Aku menyetujuinya. Tapi entahlah kenapa aku tidak bisa sukses dalam melaksanakan kewajianku. Intensitas kedekatan Mida dan Dira sama sekali tidak bertambah. Aku merasa, kalau aku mendapatkan bimbingan cuma-cuma dari Dira. Saat aku singgung masalah ini, Dira kembali berkata “Lain kali kan bisa?”. Lain kali yang mana? Ini masih menjadi pertanyaan di kepalaku. Tapi untuk sementara aku harus konsentrasi dengan privat yang diberikan Dira, jangan sampai ini sia-sia.
Seringnya pertemuan kami di luar sekolah membuat kami semakin dekat. Aku merasakan kenyamanan saat dekat dengan Dira. Ceritanya yang konyol selalu menjadi intermezzo saat sulitnya materi Biologi tak bisa ku atasi. Tapi apa ini? Aku tidak boleh seperti ini. Aku tidak boleh terbuai dengan kenyamanan di samping Dira sementara kawajibanku sama sekali belum mencapai 50% kesuksesan.
Aku kembali mengusahakan agar Dira dan Mida bisa keluar bersama. Kulakukan ini sebisa mungkin. Tapi apa yang kembali terjadi? Gagal. Aku mulai resah. Ini seperti kesengajaan atau memang aku tidak mampu melaksanakan ini. Aku tidak bisa seperti ini terus-menerus. Aku akan mengakhiri perjanjian ini dengan Dira. Aku tidak mau Dira berharap padaku yang aku sendiri tidak bisa memenuhi harapannya sementara Dira sudah memberikan privat seperti perjanjian kami. Aku juga tidak bisa membiarkan perasaanku terhadap dira bertambah dari simpati menjadi suka. Aku tidak mau menimbulkan masalah baru dengan menyukai Dira yang menyukai sahabatku Mida. Ini benar-benar harus diakhiri.
***
“Dira, kupikir ini adalah hari terakhir kamu ngasi privat ke aku. Aku minta maaf. Minta maaaaf banget. Kayaknya aku gak bisa lagi deh ngedeketin kamu sama Mida. Aku sudah coba berbagai cara tapi selalu gagal. Dan ini kan melenceng dari perjanjian kita. Aku tidak bisa memenuhi janjiku sementara kamu memenuhi janjimu. Ini nggak adil buat kamu” ungkapku pada Dira saat Dira ngasi privat ke aku. Kulihat dira yang awalnya tidak serius mendengarkanku kini mengangkat kepalanga dan menatapku dengan mata bulatnya. Aku tidak bisa mengartikan tatapan Dira itu. Marah atau kecewa, aku tidak tahu. Dira tidak mengatakan apa-apa.
“Dir, kamu marah ya?” tanyaku pada akhirnya. Tapi kini kulihat Dira mengemasi buku-bukunya. Dia mau pergi, padahal baru jam setengah delapan. Apa Dira benar-benar marah? Aku tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun. Ditambah raut wajah serius Dira yang tanpa senyum sama sekali.
“Kita bicarain ini besok di perpus bareng Mida ama Arif” kata Dira sambil mengemasi barang-barangnya. Masih tanpa senyum. Haah, lagipula kenapa aku mengkarapkan senyum dari Dira di saat seperti ini. Tidak mungkin.
Akhirnya Dira beranjak dari kursi dan berjalan menuju ke pintu. “Aku pulang” kata Dira. Aku bingung harus melakukan apa. Aku tau Dira pasti sangat marah. “Aku nggak marah sama kamu” kata dira sesaat sebelum mencapai pintu dengan posisi membelakangiku. Tidak marah? Terus kenapa membelakangiku? Aku yakin sekali Dira marah. Aku benar-benar pasrah.
***
Hari ini di perpustakaan. Seperti kata Dira semalam. Apa yang mau dibicarakan? Terus kenapa harus ada Mida? Memangnya Dira mau jujur kalau dia suka sama Mida? Terus Arif untuk apa? Supaya aku nggak jadi obat nyamuk gitu? Haah, entahlah, aku sudah pasrah. Apapun yang terjadi aku hanya bisa minta maaf, terutama sama Dira.
“Mia, ayo ke perpus!” suara Dira mengejutkanku. Aku segera mengikuti Dira dari belakang. Aku tudak berani berjalan berdampingan dengan Dira, takut jangan sampai Dira masih marah sama aku.
Di perpustakaan aku tidak melihat siapa pun, baik itu Mida, Arif, ataupun Mbak penjaga perpustakaan. Kemana semuanya? “Dir, mana yang lain?” tanyaku.
“Mida sama Arif belakangan” jawab Dira.
Hening sesaat !!!
“Mia, aku mau ngomong” kata Dira. Ya ampun Dira, ngomong aja kali, emang ada pajak ngomong? “Aku . . suka sama kamu Mia . .”
APAA??!!! NO !! Impossible! Ini tidak mungkin. Khm, aku mungkin salah dengar. Ya, pasti salah dengar. “Apa?” tanyaku memastikan.
“Aku suka sama kamu! Mia!” ulangnya. Mia? Dira barusan bilang Mia? Bukan Mida? Ya ampun, ini maksudnya apa? Pasti ada yang salah! Dira itu suka sama Mida, kok sekarang bilang suka sama aku? Jangan-jangan Dira cowok nggak benar lagi, yang suka mempermainkan wanita. Apa aku tampar ya?
“Aku tau kamu bingung” kata Dira mengurungkan niatku –emang nggak niat beneran kali- untuk menampatnya. “Aku mau jelasin semuanya sama kamu Mia. Dari awal aku sudah suka sama kamu. Aku takut, kamu bakalan nggak suka sama aku jadi aku minta bantuan sama Mida yang memang sahabat kamu. Ada dua pilihan, pertama nyatain perasaanku dari awal dengan resiko kamu bisa saja nolak aku. Yang kedua pura-pura minta dicomblangin sama Mida dengan imbalan aku bisa ngasi privat sama kamu sehingga aku bakal lebih dekat sama kamu dan aku bisa lihat kamu ada perasaan sama aku atau tidak dengan resiko kamu akan mengira aku suka sama Mida. Keduanya adalah pilihan yang sulit Mi. Dan akhirnya aku memilih yang kedua dengan alasan aku akan bisa dekat dengan kamu. Dan aku sekarang juga tau, kalau kamu ada perasaan kan sama aku?” jelas Dira panjang lebar.
Tunggu! Ini terlalu banyak dan tergesa-gesa. Aku tidak bisa mencernanya sekaligus. Dari awal Dira sudah suka sama aku? Dira minta bantuan Mida? Dira pura-pura suka sama Mida? Haah, bagaimana ini bisa terjadi? Seperti sinetron saja. Aku tidak tahu harus marah karena sudah dibohongi atau senang karena ternyata Dira suka sama aku. Aku bingung. Tapi aku tidak boleh kekanak-kanakan dengan marah-marah tidak jelas padahal aku juga suka sama Dira. Lagipula Dira bohong untuk aku juga. Aku senang sekali. Tanpa sadar aku tersenyum yang membuat Dira juga ikut tersenyum. Dira kemudian memelukku dengan erat. Erat sekali, sampai-sampai aku susah bernafas. Hahhah, aku masih tidak percaya ini. Sekarang aku di pelukan Dira.
“Khm! Yah, ketinggalan deh” raut kecewa Mida tiba-tiba muncul dengan Arif yang senyum-senyum disampingnya. Wah, aku sampai melupakan mereka. Aku melepaskan pelukan Dira.
“Eh, Da, kok nggak bilang sih kalau Dira minta bantua kamu?” tanyak dengan tampang yang dicemberutkan.
“Kalau kamu tau dari awal tuh nggak bakalan seru kali. Hahaha” kata Mida sambil tertawa.
“Lagian Mi, aku nggak mungkin suka sama Mida. Tuh, si Arif bisa ngamuk” kata Dira melirik Arif yang dari tadi cuma cengengesan. Apa? Kok aku nggak tau? Wah, mereka curang!
“Yah, jadian kok nggak bilang-bilang sih?” tanyaku masih dengan muka yang cemberut. Aku tidak terima kabar gembira itu disembunyikan dariku.
“Sekarang baru mau bilang” kata Mida masih tertawa. Pasti menertawaiku yang tidak tau apa-apa. Tanpa sadar aku pun ikut tertawa. Bukan menertawai apa yang ditertawakan Mida, tapi menertawai pikiranku sebelumnya bahwa Arif akan menemaniku karena takut aku jadi obat nyamuk. Hahhah, ternyata Arif malah sama Mida. Hihi.
“Oiya. Aku nggak dipecat jadi guru privat kamu kan?” tanya Dira akhirnya. Iya ya, semalam kan aku bilang kalau itu malam terakhir Dira ngajar privat dirumahku. Ya ampun, Dira baik banget sih, masih mau jadi guru privatku. “Cukup jadi pacar yang baik kok” kata Dira senyum-senyum. Heheh, mana bisa aku menolak?
Sekali lagi aku tidak menyesal apalagi marah dengan apa yang sebenarnya terjadi. Aku berterima kasih pada pilihan Dira. Pilihan yang membawanya padaku. Pilihannya menjadi guru privatku dan pilihannya untuk memilihku. Terima kasih Dira. Aku benar-benar merasa berarti.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar