Refleksi
Beginilah hidup. Subur, layu. Buas, jinak. Begitupun saat ada yang datang, ada pula saatnya yang datang itu untuk pergi. Semua orang tau itu, tapi kadang ada yang tidak mengerti dan menganggap semua itu sebagai suatu kesalahan.
Sivia masih menyalahkan dirinya atas keputusan Cakka. Kini tak ada lagi pasangan ideal Sivia-Cakka yang tak jarang membuat banyak siswa mendengus iri. Masih jelas di ingatan Sivia ketika Cakka tanpa ragu meminta putus padanya. Berbagai perasaan berkecamuk di benak Via kala itu. Kaget, Sedih, Marah, Kecewa, semua menyatu menjadi satu rasa yang tak mampu dideskripsikan.
“Apa gue terlalu cengen? Apa gue egois? Apa gue kurang perhatian?” pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang selalu muncul di benak Via pasca putusnya ia dan Cakka, yang diiringi titik-titik air dari matanya. Tak jarang pula ia mengutuki dirinya yang selama ini tidak bisa memberikan kenyamanan kepada Cakka sehingga ia harus mengalami kejadian yang sama sekali tidak diinginkannya.
“Vi? Lo knapa?” tanya keke, teman sebangku Sivia yang merangkap sebagai sahabatnya. “Nggak apa-apa kok” jawab via yang tersadar dari lamunannya. Tak perlu kejujuran dari mulut Sivia, melihat mata bulat itu berkaca-kaca saja keke sudah tau. Sudah sebulan berpisahnya Via dan Cakka, tapi Via masih belum bisa menerima keadaan itu. “Vi, jangan gini dong. Cowo’ kan bukan Cuma Cakka” kata keke menghibur via. Sivia mengangguk sambil memejamkan matanya. Keke tau, sivia mencegah air matanya jatuh dan membasahi pipinya.
“Mm, oiya lo satu kelompok tuh sama si Alvin” kata keke menyampaikan apa yang –ia yakin- sama sekali tak disimak oleh sivia. “Alvin?” tanya via. “Heeh . . gara-gara Cakka nih. Lo sampe gak nyadar kalo ada murid baru. Udah 3 minggu kali viiii!” ujar keke tak habis pikir. “Oo. Sory deh” kata via masih tak bersemangat. “Anaknya yang mana sih?” sambungnya.
Sivia kemudian melihat kea rah telunjuk keke. Dan ia mendapati seorang anak laki-laki berambut ikal, mata sipit, dan kulit putih yang tengah tertunduk di bangku sudut kiri belakang. Tidak membaca buku, apalagi menghafal. Ia tertidur.
“Sabar ya Vi. Kayaknya ini saatnya lo buat konsentrasi ke tugas kelompok ini deh. Gue juga nyesel sih, kenapa lo mesti satu kelompok sama anak yang ketiduran di kelas saat PBM kayak gini. Tapi setidaksetujunya gue, ini keputusan GMP” jelas keke panjang lebar. “Iya, nggak apa-apa kok” kata via pasrah. SURPRISE!!! Keke nggak menyangka itu tanggapan via. Baru kali ini via pasrah tanpa perlawanan ketika mendapat teman satu kelompok yang physicly gak meyakinkan untuk menjadi partner yang baik. “Vi? Please deeeh! Lupain si cakka. Nggak kasihan apa lo sama papa mama lo kalo tau anaknya gak fokus belajar Cuma gara-gara diputusin cowo?” ujar keke berapi-api. Dan berhasil. Kata-kata keke sepertinya membuka sedikit pikiran via untuk tidak larut dalam kesedihannya. “hehe, iyya-iyaa . . udah ah! Jadi takut gue ngeliat lo kayak gitu” ucap via, kini dengan tawa kecil.
@@@
Kkrrrrriiiiiiiiiinnngg . .
Bel pulang berbunyi ketika sivia menghampiri Alvin, “Hai, Alvin ya?” tanya via mencoba ramah. “Aku sivia, teman kelompok kamu untuk tugas penelitian” lanjut via memperkenalkan diri. “O, iya gue Alvin. Penelitian? Oke. Mau ngerjain kapan?” jawab Alvin yang dibarengi dengan pertanyaannya.Ya ampun, padahal Cuma mau kenalan kok langsung minta waktu kerja kelompok sih? Tugasnya juga 2 minggu kok. Waah, kayaknya tadi dia gak nyimak penjelasnnya ibu nih. Ckckck, malang bener nasi gue. Batin via. “Eee, terserah lo deh” jawab sivia pada akhirnya. Jangan sampai anak baru ini mikir gue gak becus jadi anggota kelompok kalo nunda kerja kelompoknya. “Yaudah, nanti gue jemput. Alamat lo dimana?” “Haaa???” speechless! Sivia gak tau harus bilang apa. “Hari ini??” ya, hari ini? Hanya itu yang bisa keluar dari mulut sivia. “Iya, lo bilang kan terserah gue. Jadi lo bisa jamin lo bisa” jelas Alvin. Skat! Tidak ada pilihan lain bagi sivia kecuali ia mau disebut anggota kelompok yang tidak becus. Finally, sivia memberikan alamat rumahnya yang ditulisnya di secarik kertas. “Oke. Gue jemput jam 3” kata Alvin sebelum akhirnya meninggalkan ruang kelas dengan menyandang tas dipundaknya. “Tapii…” kalimat sivia menggantung menatap kepergian Alvin. Tapi emang mau kerja tugas dimana? Kok pake dijemput? Gue kan belum kenal betul sama Alvin. Pertanyaan-pertanyaan it uterus berkelebatan di kepala via selama perjalanan pulang.
@@@
Sivia membuka pintu kamar tanpa tenaga dan masuk benar-benar tanpa semangat. Bayangan tugas-tugas sekolah beterbangan menghantui pikirannya. Di tengan masalah yang dihadapinya kini, ia tak menemukan jalan untuk tetap fokus pada pelajaran di sekolah.
Kini tatapannya beralih ke sudut ruangan dimana lemari mungil tempat buku-bukunya dilatakkan. Tatapannya tak beralih hingga matanya berkaca-kaca. Bukan karena lemari berwarna cokelat itu. Tapi karena benda segi empat yang terletak di atasnya. Bingkai foto segi empat itu, yang meperlihatkan kemesraan Sivia dan Cakka. Sekali lagi Sivia tumbang. Ia tak kuasa lagi meraih tempat tidurnya dan akhirnya jatuh bersimpuh di lantai dengan air mata yang tak hentinya metetes. “Maafin aku Ka, aku nggak bisa jadi cewe’ yang baik. Maafin aku. Aku sayang sama kamu. Aku janji aku nggak akan cengeng lagi. Aku janji Kaa” tangisan Via mengeras. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya.
Via menangis hingga tertidur, tanpa menggannti seragamnya sama sekali. Bingkai foto yang digenggamnya sejak tadi kini tergelatak di lantai tanpa via sadari terlepas dari genggamannya. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 2.45, dan via sama sekali belum terjaga dari tidurnya. Hingga . . “Ampuun ‘eee . . non via iki opo tooh? Tiddur ndak ganti seraggam iki?” bibi yang melihat via seperti itu segera membangunkannya, “Non! Non! Bangun toh noon. Ganti bajju trus ke bawah. Ada temennya yang nyariin” bibi mengguncang-guncangkan tubuh lemas via. Via yang sadar mulai mencerna kata-kata bibi. Teman? Via merasa tidak ada janji hari ini. Hingga beberapa detik kemudian, akhirnya Via sadar, “Ya ampun! Si anak baru itu. Gila, dia serius?”
@@@
Alvin yang melihat bibi turun dari lantai atas langsung melayangkan pertanyaan, “Gimana bi? Sivia ada?” tanya Alvin sambil berdiri dari kursi yang didudukinya. “Eh, sepertinya non Via seddang ndak enak baddan iki den” jawab bibi. Terbayang di benak bibi ketika sivia berpesan untuk menyampaikan kepada Alvin bahwa dia tidak enak badan dan dengan terpaksa harus membatalkan janjinya dengan Alvin. Sivia benar-benar merasa tidak bersemangat untuk beraktivitas dengan perasaannya saat ini, apa lagi mengerjakan tugas. Bukannya selesai, bisa-bisa tugasnya malah hancur. “Loh, kok gitu bi’? sivia tuh udah janji sama aku bakal ngerjain tugas kelompok hari ini” kata Alvin setelah tahu bahwa via membatalkan janjinya. “Ya, setidaknya dia yang bilang langsung dong bi’. Orang dia yang janji kok bibi yang bilang batal sih. Bilangin ke sivia deh bi’!” lanjut Alvin. Bibi yang susah payah menuruni tangga dengan terpaksa mulai menapaki satu demi satu anak tangga di rumah majikannya ini.
“Non, temennya ndak mau pergi. Katanya ya, si non yang harus turun gittu” kata bibi menyampaikan pesan Alvin. Sivia yang sudah mulai terlelap kini bangun dengan gusarnya, tanpa mengganti pakaian seragamnya, dan masih dengan rambut yang acak-acakan. “Ih, rese’ banget sih! Dibilangin nggak enak badan juga”. Sivia menuruni tangga dengan tampang gusar, cemberut dan penampilan yang acak-acakan. Rambut yang mengembang seperti habis terkena angin puting beliung, dan baju yang sudah tidak rapi. Sivia tidak menghiraukannya lagi. Dibilang nggak becus biarin deh! Dasar cowo’ gila! Batin via.
Alvin yang melihat via muncul dengan penampilan super acak-acakan hanya mengangkat kedua alisnya. Sama sekali tidak merasa bersalah dengan tampang cemberut yang diterimanya dari sivia. “Lo sakit apaan?” tanya Alvin ketika via tepat berada di hadapannya, masih dengan tampang cemberut. “Heh, ini tuh belum jam 3 kali” sembur via tanpa menjawab pertanyaan Alvin. “Lebih baik dari pada telat kan?” jawab Alvin. Sivia makin jengkel dengan tanggapan Alvin. “Gue tuh gak enak badan! Gak bisa kerja tugas! Lain kali bisa kan? Deadlinenya juga masih lama. Lagian gue juga gak pernah minta nggak enak badan kayak gini tau!” via nyerocos benar-benar tanpa nada keramahan di setiap kata-katanya. Alvin kemudian berdiri dan menyandang tas punggungnya. Ada kelegahan di benak sivia sampai . . “Ganti baju gih. Ngeliat lo ngomel-ngomel kayak gitu, gue jadi nggak yakin kalo lo sakit. Gue tunggu di luar! Awas kalo pake lama!” dan klik! Alvin keluar meninggalkan sivia yang ternganga, masih belum mencerna apa yang terjadi sepenuhnya.
Beberapa menit kemudian sivia keluar dari rumah dengan penampilan yang sudah rapi. Rambutya dihiasi bando dengan warna yang senada dengan pakaian yang dikenakannya. Satu yang belum berubah, yaitu ekspresi via yang masih cemberut. Muka sivia makin ditekuk mendapati Alvin sudah stand by di atas motornya dengan helm yang menutupi seluruh wahnya. Tanpa berkata-kata Alvin memberikan helm kepada sivia. Dan dengan enggan sivia menerimanya.
@@@
30 menit berlalu, akhirnya mereka tiba ke tempat tujuan. Tempat yang sudah Alvin tetapkan sebagai tempat mereka untuk mengerjakan tugas. “Kita kerja tugas di sini!” kata Alvin. “Museum? Kenapa di museum?” sivia melongo, mendapati dirinya dan Alvin sekarang berada si museum sejarah di kotanya itu. “Kita kan mau ngerjain tugas sejarah? Gimana sih. Kalo tugasnya fisika nggak mungkin gue ngajak lo ke sini” jawab Alvin menyadari keheranan sivia. “Helloooww? Tau internet nggak sih? Kan bisa cari refrensi di internet?”. “Nggak! Lebih jelas di sini kan? Lagi pula di sini kita dipandu. Kita bisa nanya-nanya. Kalo via internet, lo mo nanya ama siapa? Kalau pun bisa, paling di jawabnya berminggu-minggu ke depan sama pengurus websitenya” jelas Alvin. “Udah! Ayo masuk, jam 5 udah tutup” sahut Alvin yang kemudian melangkah memasuki museum. Sivia masih belum terima argument Alvin. Biasanya juga gue ngerjain tugas presentase nyari refrensinya via internet. Sukses juga kok. Sivia membatin. Tapi apa boleh buat, sivia tetap mengekor di belakang Alvin.
Detik, menit, jam, berlalu. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 5.00, dan itu artinya museum akan segera ditutup. Selama mengamati di museum, Alvin hanya tersenyum melihat sivia lah yang menampakkan antusiasmenya yang leih besar dibanding Alvin. Yah, via yang awalnya enggan akhirnya merasakan juga kelebihan mengerjakan tugas sejarah langsung di museum. Banyak yang via lihat dengan mata kepalanya, dan dengar dari kupingnya langsung. Sehingga akan mudah bagi sivia untuk membagi pengetahuannya nanti sat presentasi. “Vin, lo kok ngajak gue kerja tugas cepet banget sih? Kan deadlinenya dua minggu lagi.” Tanya sivia di perjalanan pulang. “Percaya sama gue, dua minggu ini akan terasa singkat buat lo”. Via hanya mengangguk. Sekarang wajah cemberutnya benar-benar sudah menguap. Seakan-akan sivia tidak pernah merasa kesal pada Alvin.
@@@
Di kamarnya, sivia mengingat kembali apa yang dialaminya siang tadi. Ada yang membuat sivia merasa nyaman dengan Alvin, terlepas dari kekesalan sivia seelumnya. Dan akhirnya sivia menyadari bahwa tingkah dan gerak Alvin mengingatkannya akan seseorang yang tidak akan mudah dulupakannya. Ya, Cakka. Entah sejak kapan, tapi tingkah Alvin memang benar-benar mengingatkan Via akan sosok Cakka yang mengisi sekat-sekat hatinya yang kosong.
Hari demi hari, Sivia mulai menyadari kebodohannya yang begitu meratapi nasib hubungannya dengan Cakka. Dorongan semangat dari keke memulihkan sivia deperti sedia kala. Tapi tak dapat dipungkiri oleh sivia bahwa Alvin lah yang berperan besar akan kesembuhan luka hatinya. Seminggu telah berlalu sejak hari pertama mereka mengerjakan tugas. Dan sivia menemukan lebih banyak lagi sikap Alvin yang benar-benar mirip dengan Cakka. Alvin yang pantang terlambat, begitu pula cakka. Alvin yang tidak mau setengah-setengah dalam melakukan sesuatu, begitu pula cakka. Alvin yang memerhatikan via, begitu pula cakka. Alvin bagai refleksi dari cakka bagi sivia. Dan itu benar-benar menutup luka yang pernah timbul dari cakka. Satu hal yang membuat sivia lebih nyaman bersama Alvin yaitu karena Alvin tidak pernah menyalahkan sesuatu atau mencari alasan atas gagalnya sesuatu hal itu. Alvin lebih terpaku kepada bagaimana memulihkan kegagalan itu sehingga bisa berujung keberhasilan. Hal ini yang membedakan Alvin dan cakka. Sempurna.
Sivia yang sudah menyadari apa yang dirasakannya terhadap Alvin tidak mau terburu-buru sebelum mendapat kepastian dari Alvin. Meskipun luka itu telah sembuh, tapi bekasnya tak akan pernah bisa hilang dan akan selalu menjadi alarm untuk terus berhati-hati agar tak terulang luka yang sama. Itulah yang dirasakan Sivia.
@@@
Matahari kembali menyinari hari-hari sivia. Cerah, dan penuh warna. Sebelumnya sivia tidak pernah menyangka akan bisa merasakan hari-hari seperti sekarang ini setelah ia putus dengan cakka. Tapi ternyata itu bisa begitu mudah.
Tapi seakan luka yang telah sembuh itu terkupas kembali, via mendapati dirinya kembali dalam ketakutan dan kekhawatiran akan perasaan yang dihadapinya. Akhir pekan yang lalu saat via menonton di bioskop di sebuah mal yang tak jauh dari rumahnya, ia melihat Cakka yang juga sedang nonton, film dan di studio yang sama. Luka itu kembali terbuka, bukan karena cakka menggandenga seorang gadis di sampingnya. Tapi sivia takut akan merasakan apa yang pernah dirasakannya dulu saat berpisah dengan cakka. Dicampakkan. Via tak bisa membayangkan jika harus merasakannya kembali. Apalagi oleh Alvin, orang sudah mengisi hati sivia. Kenyataan bahwa Alvin memiliki banyak sikap yang sama dengan cakka membuat sivia tumbang seketika, merasa apa yang dirasakannya adalah percuma. Sivia kemudian memutuskan untuk menjauh dari Alvin. Menjauh bukan karena benci, tapi untuk menghindari apa yang tidak akan pernah ingin sivia rasakan.
@@@
Tanpa sepengetahuan sivia, diam-diam Alvin juga menyimpan rasa yang sama seperti yang dirasakan sivia. Alvin menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya kepada sivia. Alvin tau apa yang pernah dirasakan sivia, untuk itu alvin tidak ingin terburu-buru yang akan terkesan memaksa.
Namun hal itu urung dilakukan Alvin melihat perubahan sikap sivia padanya. Alvin sendiri tidak mengetahui apa yang terjadi pada sivia hingga ia akhirnya menjauhi Alvin seperti sekarang. Berbagai kemungkinan berkelebatan di pikiran Alvin. Apakah alfin melakukan kesalahan? Apakah sivia sudah menemukan laki-laki lain? Apakah sivia tidak menyukai sikap Alvin? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus menghantui pikiran Alvin. Alvin tidak akan membiarkan ini begitu saja. Alvin tidak akan membuang kesempatan untuk mendapatkan gadisnya. Gadis yang membuat jantungnya berdegup kencang saat melihat gadis itu tersenyum.
@@@
Setelah kelas terakhir berakhir, Alvin langsung menyusul sivia yang berusaha menghindarinya. Alvin kemudian menarik tangan sivia hingga sivia tidak bisa melangkah lagi. “Lo yang minta gue kayak gini vi!” kata Alvin melihan perlawanan sivia. “Gue nggak akan ngelepasin tangan lo sampai lo jelasin ke gue kenapa lo ngehindarin gue. Gue ada salah?” sivia menggeleng dan tetap menunduk. “Trus kenapa lo ngindarin gue?” tanya Alvin. Sivia tetap tidak mengeluarkan suaranya, dan kembali hanya menggelengkan kepalanya masih menunduk. “Vi, plis dong, jangan kayak gini. Paling tidak lo kasi tau gue apa yang buat lo meghindar”. Sivia masih diam, tapi mulai terdengar isakan dari sivia. Sivia menangis, masih dengan wajah tertunduk. Alvin yang menyadi hal itu jadi kaget sendiri. Apa ia terlalu kasar?
Alvin perlahan mengangkat wajah sivia yang tertunduk. Wajah via sudah basah oleh air matanya. Alvin kemudian mengusap kepala sivia dan mengajaknya untuk meninggalkan sekolah. Alvin membawa sivia ke bukit kecil di pinggir kota, berharap sivia akan menceritakan semuanya disana.
“sekarang blang sama gue, lo kenapa?” tanya Alvin setelah menyeka air mata sivia. Masih terisak, sivia menjawab “Gue . . gue . . takut vin. Gue takut ditinggalin kayak dulu waktu sama cakka. Gue takut lo ninggalin gue. Mungkin ini berlebihan karena status gue yang Cuma temen lo nggak berhak bilang kayak gini. Tapi itu yang gue rasain. Dan gue pikir, dari pada gue ditinggalin, lebih baik gue yang menjauh” tangis sivia kembali pecah. Alvin yang mendengar hal itu kemudian menatap sivia dengan pandangan yang penuh sayang. “Vi, kalo itu yang lo khawatirin, lo tenang aja. Gue nggak bakalan ninggalin lo kok. Dan apa yang lo bilang itu nggak berlebihan kok. Vi, lo tau nggak? Gue sayang sama lo. Sayaaang banget. Dan gue nggak akan ninggalin lo seperti yang dilakuin mantan lo sebelumnya” kata Alvin sambil menyeka air mata sivia. Sivia yang mendengar hal itu seketika menengadahkan kepalanya dan menatap Alvin, “Lo sayang sama gue? Kenapa?” tanya sivia yang percaya-tak percaya akan apa yang didengarnya. “Yaa, gue sayang aja sama lo. Gue suka liat lo yang manja. Ngeliat lo yang manja, gue jadi nggak mau ngelepasin lo. Gue mau gue selalu ada di samping lo, senang atau sedih” jawab Alvin dengan yakin. Ada rasa haru yang mengalir di sekujur tubuh sivia. Ada kelegaan yang dirasakannya dari pernyataan Alvin. Manja. Sikap yang selama ini tidak disukai cakka. Ternyata hal itu yang membuat Alvin selalu ingin berada di samping sivia. Sivia kini sadar bahwa Alvin tidak sama dengan cakka. Dan sivia benar-benar merasa nyaman di samping Alvin.
“Vi, lo mau nggak jadi cewek gue?” Alvin berlutut di depan sivia dengan menggenggam kedua tangan sivia. Sivia yang tidak pernah menyangka akan mendapatkan balasan atas perasaannya dari Alvin hanya mampu mengangguk dengan isakan yang tertahan. Haru. Tak dapat disembunyikan oleh sivia. Alvin kemudian kembali berdiri, “Yah, via. Kok nangis lagi sih? Kan udah jadi cewek gue? Duuh . . cup cup, sini . .” Alvin kemudian meraih tubuh sivia. Mengecup keningnya dan memeluknya. Alvin berjanji dalam hati untuk tidak membuat gadis dalam pelukannya ini terluka sekeci apapun.
Tuhan, jangan rengguh kebahagiaan ini. Di tempat ini aku akan merenungi apa yang telah Engkau berikan. Anugerah terindah dari-MU. Dalam pelukannya, dalam usapan tangan lembutnya, dalam kecupan hangatnya. Menjelma dalam keabadian. Amin.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar